STEVANI On Social Media

Tuesday, July 10, 2018

MANAJEMEN PERKREDITAN || Kebijaksanaan Perkreditan

Dalam perkembangan bisnis perbankan yang mengarah kepada "One stop shoping bank" maka permasalahannya akan semakin rumit, karena perkreditan itu sendiri akan saling kait mengkait dengan kegiatan perbankan lainnya dan akan membentuk "net work" yang tidak putus-putusnya. Untuk mengatasi berbagai kerumitan serta dalam upaya agar kegiatan perkreditan tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukanlah suatu rangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis ataupun tidak tertulis sebelum pelaksanaan perkreditan itu sendiri berlangsung. Rangkaian peraturan ini disebut sebagai kebijaksanaan kredit (credit policy). Karena kebijaksanaan kredit merupakan pedoman kerja di bidang perkreditan maka kebijaksanaan tersebut harus mengandung keputusan-keputusan politis yang bersifat teknis operasional.
Secara mudah keputusan manajemen tersebut dapat digambarkan dalam bentuk piramide kebijaksanaan pada gambar berikut :

Pada gambar jelas Top Manajemen dalam manajemen kebijaksanaan kredit perlu informasi ekstern dan informasi intern. Kadar informasi ekstern akan lebih banyak berpengaruh daripada informasi intern. Dan sebaliknya pada lower Manajemen. Untuk membentuk kebijaksanaan perkreditan yang baik akan memerlukan kerja sama yang erat dari semua level manajemen sesuai dengan porsinya masing-masing dalam mengelola informasi ekstern/intern untuk menjadikan suatu kebijaksanaan.
Dalam menetapkan kebijaksanaan perkreditan harus diperhatikan 3 asas pokok yaitu :

  1. Asas Likuiditas, yaitu  suatu asas yang mengharuskan bank untuk tetap dapat menjaga tingkat likuiditasnya, karena suatu bank yang tidak likuid akibatnya akan sangat parah yaitu hilangnya kepercayaan dari para nasabahnya atau dari masyarakat luas. Hal ini dapatlah dipahami karena dana yang disalurkan dalam bentuk kredit berasal dari masyarakat. Suatu bank dikatakan likuid bila memenuhi beberapa kriteria berikut ; (●) Bank tersebut memiliki "cash assets" sebesar kebutuhan yang akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya, (●) Bank tersebut memiliki assets lainnya yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarannya, (●) Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash assets baru melalui berbagai bentuk utang. Hingga demikian pengelolaan likuditas akan meliputi kegiatan dalam perencanaan dan penyediaan kebutuhan likuiditas untuk memenuhi ketentuan penguasa moneter yang berlaku serta dalam rangka memenuhi kebutuhan modal kerjanya sendiri.
  2. Asas Solvabilitas, usaha pokok perbankan yaitu menerima simpanan dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit. Dalam kebijaksanaan perkreditan maka bank harus pandai mengatur penanaman dana baik pada bidang perkreditan, surat-surat berharga pada suatu tingkat resiko kegagalan yang sekecil mungkin. Kiranya hal ini mudah dipahami sebab asset bank dalam bentuk kredit dan penanaman dalam surat-surat berharga inj akan merupakan sumber utama bagi bank untuk menutup segala utang bank kepada para girant/deposant apabila sewaktu-waktu yang bersangkutan akan menarik dananya dari bank tersebut. Jadi masalah inilah yang mendorong Top Manajemen suatu bank untuk dapat mengarahkan kebijaksanaan dalam pemberian kredit yang sehat, mengarahkannya sasaran pemberian kredit secara tetap, dan lain-lain. Sehingga kredit-kredit yang diberikan tersebut harus dapat dikuasai oleh para debitur tetap waktunya sesuai dengan yang telah dijanjikan agar tidak merusak skedul perencanaan kredit yang telah disusunnya.
  3. Asas Rentabilitas, yakni perolehan laba, baik untuk mempertahankan eksistensinya maupun untuk keperluan mengembangkan dirinya. Laba yang diperoleh dari perkreditan berupa selisih antara biaya dana dengan pendapatan bunga yang diterima dari para debitur.
Top Manajemen suatu bank perlu pula memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan perkreditan yaitu :
  • Keadaan perekonomian, perkembangan politik
  • Peraturan-peraturan penguasa moneter yang ada
  • Kemampuan bank yang bersangkutan dalam mengumpulkan dana dengan biaya yang relatif murah
  • Volume permintaan kredit dari masyarakat bisnis
  • Tingkat (besarnya) laba yang diharapkan
  • Kemampuan manajemen bank itu sendiri
  • Para saingan dari bank-bank/lembaga keuangan lainnya yang memasarkan jasa perkreditan.
Dari uraian-uraian di atas maka semakin jelaslah tujuan dari penetapan kebijaksanaan kredit yaitu dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Untuk penyediaan sarana penjagaan/pengamanan terhadap assets bank dan dana yang disimpan oleh para deposant secara memadai, maksudnya yaitu agar dana yang telah ditanamkan ke dalam bank tersebut dapat dikembangkan hingga dapat memperoleh "return" yang optimum. Dengan adanya "return" (=laba) yang cukup ini akan memungkinkan bank mengembalikan dana yang disimpan oleh para deposant dengan sekaligus pembayaran bunganya, di samping bank yang bersangkutan masih memperoleh sisa laba yang dapat dipakai untuk mengembangkan diringa maupun untuk pembayaran deviden kepada para pemiliknya (pemegang saham yang bersangkutan).
  2. Sebagai dasar pedoman kerja dalam menghadapi perkembangan perekonomian khususnya yang menyangkut kegiatan perbankan, maksudnya sebagai unit perekonomian sudah tentu tidak dapat melepaskan diri dari setiap perkembangan yang terjadi pada kegiatan perekonomian yang mengelilinginya.
  3. Sebagai pedoman bagi para pejabat kredit bank yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Maksudnya agar tugas-tugas dalam mengelola perkreditan dapat dilakukan secara tepat guna dan tepat arah tentulah diperlukan pedoman kerja yang jelas bagi seluruh aparat perkreditan dari setiap bank.
  4. Sebagai dasar dalam melaksanakan pengawasan, karena policy merupakan "decision made in advance" maka lebijaksanaan (policy) ini merupakan pula tolak ukur dari apa yang harus dilaksanakan oleh para petugas di lapangan.
Bagaimana agar kebijaksanaan kredit tersebut betul-betul dapat berfungsi sebagai suatu pedoman kerja yang baik?
  • Pertama-tama, pedoman kredit tersebut harus disebarluaskan dan dipahami oleh setiap petugas secara memadai sesuai dengan jenjang jabatannya, dan juga sebaliknha kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut diformulasikan secara tertulis dengan redaksi yang baik agar dapat mudah dipahami dan jangan sampai terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya
  • Kedua, kebijaksanaan kredit tersebut harus bersifat stimulatif dan bukannya restriktif, maksudnya agar kebijaksanaan yang tertulis tersebut jangan menimbulkan sentralisasi ke satu tangan yang terlalu banyak, disamping itu kebijaksanaan tersebut harus benar-benar dapat bermanfaat untuk pedoman para pelaksanaan, serta memperhatikan umpan balik yang terjadi di lapangan untuk perbaikan, dan jangan sampai menjadikan hambatan bagi para pelaksana dalam menjalankan tugasnya.
  • Ketiga, suatu kebijaksanaan kredit yang sehat harus mampu meletakan dasar-dasar pemberian wewenang kepada pejabat pemberi kredit secara memadai sehingga yang bersangkutan dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.
Dan akhirnya agar kebijaksanaan kredit tersebut dapat tetap bermanfaat secara optimum haruslah direview dari waktu le waktu agar sesuai dengan situasi dan kondisi perkreditan yang berlaku. Hasil review tersebut digunakan sebagai dasar dalam penyesuaian (up dating) dari kebijaksanaan kredit yang sudah usang.
Artikel Terkait :

No comments:

Post a Comment