STEVANI On Social Media

Saturday, August 11, 2018

Rumahku Bahan Hinaan Mereka || Kisah Nyata Penulis

Rumahku Bahan Hinaan Mereka

Rumah kumuh diatas tanah sewahan seluas 3 × 7 meter dibangun tahun 2000 oleh Almarhum Ayah dengan bahan bekas dari gudang di tempat kerjanya. Sebulan  setelah awal pembangunan dengan rumah yang belum layak namun karena tidak tersedianya tempat tinggal, terpaksa dihuni kami sekeluarga tepat pada tanggal kelahiran Ayah . Namun Tuhan Berkata lain, setelahnya Ayah jatuh sakit dan dipanggil oleh Yang Kuasa. Meninggal dengan rumah yang masih belum layak ini, dihuni bertiga oleh Ibu, saya dan adik.

Tahun berlalu, adikku pergi ke Manado. Tinggalah aku dan ibu bersama hewan piaraan yaitu anjing.

Ini potret rumahku
Rumah kumuh bahan hinaan mereka ayah sampaikan salamku untuk Tuhan
Rumahku Tahun 2018

Yang kumuh di tengah perumahan kota dengan kecanggihan dan perkembangan zaman tahun 2018. Rumah dengan luas tanah yang sempit ini dibangun dengan desain 2 lantai. Dimana lantai pertama hanya terdiri dari 3 ruangan berupa ruang tamu yang juga dijadikan sebagai ladang usaha, Dapur, dan toilet, lantai ke-2 yang dijadikan kamar tidur. Dengan dana yang seadanya, ibu berusaha merombak rumahku agar bisa nyaman dihuni. Dibangun setengah parmanen. Dengan lantai yang sudah pecah-pecah, beraktivitas di dalam rumah dengan beralas sendal jepit. Berdinding kamar dari zenk bekas dan banyak lubang membuat suhu panas bagaikan oven saat siang hari dan terasa dingin saat malam hari.
Rumah yang bersebelahan dengan jalur kali membuat bauh kali dan atau sampah tetangga yang menyelimuti rumah pada musim panas.

Rumahku bahan hinaan mereka
Tanpa hati mereka melontarkan kata-kata "GUBUK .... ", Menyindir, serta berbagai ekspresi jijih.
Dilempari batu oleh tangan-tangan yang bersembunyi. Batu berbagai ukuran yang dilemparkan berbunyi keras di dinding-dinding rumah. Saat batu menyentuh rumah, entah percikan zenk, kayu atau tripleks yang akan gugur dan bolong.

Saat musim hujan pun tiba. Lokasi rumah yang bersebalahan dengan aliran kali dan bukit cukup curam, melahirkan rasa tidak nyaman saat musim hujan. Banjir yang selalu membanjiri rumahku karena pondasi rendah ini, ketika kali meluap dan longsor kecil yang berjatuhan ataupun pohon bambu yang rubuh menimpa rumah. Rumahku terkena bencana banjir tahun 2011, 2012,dan 2013. Banjir besar tahun 2013  yang membuat dinding rumahku hancur, rumahku hancur, rumahku satu-satunya. Hal ini membuat rasa trauma.
Sangat tidak nyaman rasanya saat aliran kali yang mulai mengalir deras, hujan yang tetap turun dengan lebatnya; membuat kami sibuk mengangkut dan atau mengamankan barang-barang dagang dan peralatan dapur ke lantai 2. Hal  ini dilakukan setiap kali rasa khawatir muncul akibat air kali yang mengalir deras. Entah 2 kali dalam sehari. Kami tetap melakukannya selama musim hujan berlanjut.
Kesempatan ini dipakai mereka untuk menertawakan kami, senyum sembunyi yang terpancar di wajah dan hati mereka.
Kata-kata terlontar, "su gila kapa?" (Dialek daerah Ambon), "Urus itu dolo" menunjuk dengan bibir nyindir, "Haha ancor dong panik su mau banjir".

Tuhan, sikap dan tingkah mereka menyakiti kami. Kami bersyukur dengan hidup sederhana ini dan bagiku, Rumahku adalah tempat ternyaman, tetapi kenapa mereka  turut menghina dan menertawakan kami. Terkadang sunyi melanda suasanaku, sambil berfikir dan bilang kepada almarhum ayah, "Ayah tolong sampaikan salamku pada Tuhan, buat aku sukses agar bisa membuat Rumah Ayah tidak bisa dihina lagi!" 

No comments:

Post a Comment