Pemda dan Ekonomi Daerah
Pejabat Daerah dan Ekonomi Daerah
Untuk melihat evolusi peranan pemerintah, perlu dilihat
kembali beberapa puluh tahun lalu, yaitu pada masa penjajahan.
Ilmu administrasi pembangunan membedakan adanya 2 golongan pemerintahan
atau pejabat penjajah dalam hubungannya dengan wilayah atau masyarakat yang
dijajah. Golongan yang pertama adalah pemerintah atau pejabat penjajah yang
berorientasi pada law and order.
Pemerintah atau pejabat semacam ini mengganggap bahwa tugas pokoknya adalah
menjaga agar selama masa jabatannya tidak terjadi pergolakan diwilayah
jajahannya. Tugas utama lainnya adalah menarik pajak dan mengirimkannya ke
ibukota Negara penjajah. Ini terutama terjadi di Negara-negara yang dijajah
oleh Belanda dan sebagian Negara jajahan Inggris.
Golongan pemerintah atau pejabat penjajah kedua adalah yang
berorientasi pada development.
Pemerintah atau pejabat semacam ini memandang tugasnya tidak hanya menjaga
keamanan dan ketertiban saja, tetapi juga memajukan kondisi social-ekonomi
wilayah dan masyarakat jajahannya. Jadi pemerintah penjajah terlibat dalam
pengarahan jenis tanaman , pembangunan prasarana, pembangunan fasilitas social,
dan mendidik penduduk setempat dan memperkenalkan ilmu-ilmu barat termasuk
bahasanya. Oleh karena itulah Negara-negara bekas jajahan mereka memakai bahasa
Negara penjajah sebagai bahasa sehari-hari. Negara-negara bekas jajahaan
Perancis, misalnya, memperlihatkan bekas-bekas peninggalan penjajah, termasuk
bahasa dan system politiknya. Demikian juga dengan Negara-negara jajahan
Inggrid di Asia, terutama India dan Malaysia.
Teori ini tampaknya bisa memberi penjelasan mengapa emda di
Negara kita masih pasif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah
masih-masing, karena memang “budaya” yang ditinggalkan penjajah waktu itu dan
kemudian dianut oleh para birokrat kita adalah budaya “law and order”. Lebih
lanjut, John A. Armstrong dalam salah satu bukunya (John A. Amstrong, The European Administrative Elite (Princeton
University Press, 1973) menelusuri perilaku pejabat pemerintah penjajah di
seluruh dunia, dan memperoleh kesimpulan bahwa perilaku pada pejabat penjajah
tersebut. Karena pada abad ke 18 sebagian besar wilayah dunia berada dalam
penjajahan Negara-negara Eropa, maka ia menelusuri asal-usul perilaku para
pejabat pemerintahan penjajahan melalui pola pengangkatan pegawai (recruitment dan attrition) dari instansi-instansi pemerintah yang membawahi
Negara-negara jajahan. Negara penjajah tipe Belanda dan Inggris, menurut
penelitiannya, ternyata mengisi Kementerian Daerah Jajahannya dengan
personil-personil yang mempunyai latar belakang generalis, dengan
keahlian-keahlian sejarah, bahasa, pemerintahan, dan sejenisnya. Kebanyakan
pegawai baru yang direkrut oleh Kementerian Daerah Jajahan Perancis, di lain pihak,
adalah personil-personil yang mempunyai keahlian teknik (insinyur), seperti
dalam bidang-bidang sipil, pertanian, industry, dan sejenisnya. Karena
kebanyakan insinyur biasanya “gatal” untuk menerapkan ilmunya di mana saja ia
berada, maka pada saat mereka ditempatkan di daerah jajahan, mereka juga
menerapkan keahlian tekniknya di daerah tersebut, yang hasilnya, tentu saja,
meningkatkan kesejahteraan daerah jajahan. Ini sebabnya mengapa personil
penjajah Belanda dan Inggris yang di Afrika memandang bahwa tugas mereka adalah
menjaga law and order serta menarik
pajak, sedangkan personil penjajah Perancis dan Inggris di Asia memandang bahwa
tugas mereka juga mencakup pengembangan daerah jajahan.
Pejabat daerah di Indonesia sejak dimulainya era reformasi
juga dijangkiti oleh suatu gejala yang disebut sebagai dutch disease. Lin Che Wei dalam kolomnya di majalah Tempo, 2 september 2001 mengingatkan
kita kembali akan gejala ini, yang pada intinya mengatakan bahwa “Negara yang
kaya dengan sumber daya alamnya justru miskin karena warisan itu”. (Lin Che
Wei, “Miskin di Tengah Kekayaan”, Tempo,
2 September 2001, hal 77). Ceritanya Belanda menemukan cadangan gas yang besar
di Laut Utara pada tahun 1959, dan dari sumber daya alam itu Belanda menanggung
keuntungan sebesar US$ 2 miliar setahun.
Namun kondisi ekonomi Belanda setelah itu justru memburuk. Sampai akhir 1970,
investasi sector korporasi turun sebesar 15% dalam 10 tahun terakhir,
pengangguran naik 4%, dan bagian laba dari pendapatan nasional turun lebih dari
13% pada akhir 1975.
Indonesia sejak awal sudah terkontaminasi oleh penyakit yang
awalnya berjangkit di Negara penjajah kita. Bila kita membandingkan laju
pertumbuhan ekonomi kita selama kurun 1950 sampai sekarang dengan Negara-negara
yang lebih miskin sumber daya alam dibandingkan kita seperti Taiwan, Singapura,
dan Thailand, ternyata kita yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar
jusrtu mengalami laju pertumbuhan ekonomi terebdah.
Penyakit ini sekarang menjakngkiti pejabat-pejabat daerah
kita yang menuntut bagian lebih besar dari pemanfaatan sumber daya alam yang
ada di wilayah mereka. Kebanyakan pejabat Pemda dan bahkan juga pejabat
pemerintah pusat, juga mempunyai persepsi yang keliru mengenai peranan sumber
daya alam dalam pengembangan ekonomi daerah.
Pertama, kebanyakan pejabat daerah menganggap bahwa
kepemilikan sumber daya alam yang berlimpah merupakan prasyarat bagi suatu
daerah untuk berkembang. Uraian tersebut membuktikan bahwa kepemilikan sumber
daya alam yang berlimpah merupakan penghambat bagi perkembangan ekonomi daerah
daripada sebagai pendorong. Penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber
daya alam pada awalnya memang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu
daerah atau Negara, namun dalam jangka panjang akan menurunkan laju pertumbuhan
ekonomi daerah atau Negara tersebut sehingga lebih rendah dari laju pertumbuhan
ekonomi daerah atau Negara yang tidak mempunyai sumber daya alam. (Sumber:
Richard Rosecrance, The Rise of the
Virtual State: Wealth and Power in
the Coming Century (New York: Basic Books, 1999),hal.231).
Kedua, kebanyakan pejabat daerah juga mempunyai anggapan
bahwa kepemilikan sumber daya alam yang besar akan menjadi daya tarik yang kuat
bagi investor, baik investor dalam negeri maupun asing. Pengalaman menunjukkan
bahwa sumber daya alam yang berlimpah tidak berarti tanpa dana yang dapat
diinvestasikan dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tanpa
teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengekstraksi sumber daya alam
tersebut, dan yang penting tidak adanya pasar yang akan menampung sumber daya
alam tersebut.
Sumber daya alam apapun yang kita miliki, mungkin ada Negara
atau daerah lain yang mempunyainya dalam jumah yang sama atau lebih besar
dengan kualitas yang sama atau lebih baik, dan berlokasi yang sama atau lebih
dekat ke pasar.
Dengan demikian maka keberadaan pasar adalah jauh lebih penting daripada kepemiikan akan sumber daya alam itu sendiri.
INSPIRASI : Buku “Pembangunan Daerah Mendorong PEMDA Berjiwa
Bisnis” Oleh Ir. Sussongko Suhardjo , MSc, MPA, PhD, Jakarta : Panta Rei, 2006.
No comments:
Post a Comment