STEVANI On Social Media

Thursday, September 3, 2020

Pejabat Daerah dan Ekonomi Daerah

Pemda dan Ekonomi Daerah

Pejabat Daerah dan Ekonomi Daerah 


Untuk melihat evolusi peranan pemerintah, perlu dilihat kembali beberapa puluh tahun lalu, yaitu pada masa penjajahan.

Ilmu administrasi pembangunan membedakan adanya 2 golongan pemerintahan atau pejabat penjajah dalam hubungannya dengan wilayah atau masyarakat yang dijajah. Golongan yang pertama adalah pemerintah atau pejabat penjajah yang berorientasi pada law and order. Pemerintah atau pejabat semacam ini mengganggap bahwa tugas pokoknya adalah menjaga agar selama masa jabatannya tidak terjadi pergolakan diwilayah jajahannya. Tugas utama lainnya adalah menarik pajak dan mengirimkannya ke ibukota Negara penjajah. Ini terutama terjadi di Negara-negara yang dijajah oleh Belanda dan sebagian Negara jajahan Inggris.

Golongan pemerintah atau pejabat penjajah kedua adalah yang berorientasi pada development. Pemerintah atau pejabat semacam ini memandang tugasnya tidak hanya menjaga keamanan dan ketertiban saja, tetapi juga memajukan kondisi social-ekonomi wilayah dan masyarakat jajahannya. Jadi pemerintah penjajah terlibat dalam pengarahan jenis tanaman , pembangunan prasarana, pembangunan fasilitas social, dan mendidik penduduk setempat dan memperkenalkan ilmu-ilmu barat termasuk bahasanya. Oleh karena itulah Negara-negara bekas jajahan mereka memakai bahasa Negara penjajah sebagai bahasa sehari-hari. Negara-negara bekas jajahaan Perancis, misalnya, memperlihatkan bekas-bekas peninggalan penjajah, termasuk bahasa dan system politiknya. Demikian juga dengan Negara-negara jajahan Inggrid di Asia, terutama India dan Malaysia.

Teori ini tampaknya bisa memberi penjelasan mengapa emda di Negara kita masih pasif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah masih-masing, karena memang “budaya” yang ditinggalkan penjajah waktu itu dan kemudian dianut oleh para birokrat kita adalah budaya “law and order”. Lebih lanjut, John A. Armstrong dalam salah satu bukunya (John A. Amstrong, The European Administrative Elite (Princeton University Press, 1973) menelusuri perilaku pejabat pemerintah penjajah di seluruh dunia, dan memperoleh kesimpulan bahwa perilaku pada pejabat penjajah tersebut. Karena pada abad ke 18 sebagian besar wilayah dunia berada dalam penjajahan Negara-negara Eropa, maka ia menelusuri asal-usul perilaku para pejabat pemerintahan penjajahan melalui pola pengangkatan pegawai (recruitment dan attrition) dari instansi-instansi pemerintah yang membawahi Negara-negara jajahan. Negara penjajah tipe Belanda dan Inggris, menurut penelitiannya, ternyata mengisi Kementerian Daerah Jajahannya dengan personil-personil yang mempunyai latar belakang generalis, dengan keahlian-keahlian sejarah, bahasa, pemerintahan, dan sejenisnya. Kebanyakan pegawai baru yang direkrut oleh Kementerian Daerah Jajahan Perancis, di lain pihak, adalah personil-personil yang mempunyai keahlian teknik (insinyur), seperti dalam bidang-bidang sipil, pertanian, industry, dan sejenisnya. Karena kebanyakan insinyur biasanya “gatal” untuk menerapkan ilmunya di mana saja ia berada, maka pada saat mereka ditempatkan di daerah jajahan, mereka juga menerapkan keahlian tekniknya di daerah tersebut, yang hasilnya, tentu saja, meningkatkan kesejahteraan daerah jajahan. Ini sebabnya mengapa personil penjajah Belanda dan Inggris yang di Afrika memandang bahwa tugas mereka adalah menjaga law and order serta menarik pajak, sedangkan personil penjajah Perancis dan Inggris di Asia memandang bahwa tugas mereka juga mencakup pengembangan daerah jajahan.

Pejabat daerah di Indonesia sejak dimulainya era reformasi juga dijangkiti oleh suatu gejala yang disebut sebagai dutch disease. Lin Che Wei dalam kolomnya di majalah Tempo, 2 september 2001 mengingatkan kita kembali akan gejala ini, yang pada intinya mengatakan bahwa “Negara yang kaya dengan sumber daya alamnya justru miskin karena warisan itu”. (Lin Che Wei, “Miskin di Tengah Kekayaan”, Tempo, 2 September 2001, hal 77). Ceritanya Belanda menemukan cadangan gas yang besar di Laut Utara pada tahun 1959, dan dari sumber daya alam itu Belanda menanggung  keuntungan sebesar US$ 2 miliar setahun. Namun kondisi ekonomi Belanda setelah itu justru memburuk. Sampai akhir 1970, investasi sector korporasi turun sebesar 15% dalam 10 tahun terakhir, pengangguran naik 4%, dan bagian laba dari pendapatan nasional turun lebih dari 13% pada akhir 1975.

Indonesia sejak awal sudah terkontaminasi oleh penyakit yang awalnya berjangkit di Negara penjajah kita. Bila kita membandingkan laju pertumbuhan ekonomi kita selama kurun 1950 sampai sekarang dengan Negara-negara yang lebih miskin sumber daya alam dibandingkan kita seperti Taiwan, Singapura, dan Thailand, ternyata kita yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar jusrtu mengalami laju pertumbuhan ekonomi terebdah.

Penyakit ini sekarang menjakngkiti pejabat-pejabat daerah kita yang menuntut bagian lebih besar dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayah mereka. Kebanyakan pejabat Pemda dan bahkan juga pejabat pemerintah pusat, juga mempunyai persepsi yang keliru mengenai peranan sumber daya alam dalam pengembangan ekonomi daerah.

Pertama, kebanyakan pejabat daerah menganggap bahwa kepemilikan sumber daya alam yang berlimpah merupakan prasyarat bagi suatu daerah untuk berkembang. Uraian tersebut membuktikan bahwa kepemilikan sumber daya alam yang berlimpah merupakan penghambat bagi perkembangan ekonomi daerah daripada sebagai pendorong. Penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam pada awalnya memang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau Negara, namun dalam jangka panjang akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi daerah atau Negara tersebut sehingga lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi daerah atau Negara yang tidak mempunyai sumber daya alam. (Sumber: Richard Rosecrance, The Rise of the Virtual State: Wealth and Power in the Coming Century (New York: Basic Books, 1999),hal.231).

Kedua, kebanyakan pejabat daerah juga mempunyai anggapan bahwa kepemilikan sumber daya alam yang besar akan menjadi daya tarik yang kuat bagi investor, baik investor dalam negeri maupun asing. Pengalaman menunjukkan bahwa sumber daya alam yang berlimpah tidak berarti tanpa dana yang dapat diinvestasikan dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tanpa teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengekstraksi sumber daya alam tersebut, dan yang penting tidak adanya pasar yang akan menampung sumber daya alam tersebut.

Sumber daya alam apapun yang kita miliki, mungkin ada Negara atau daerah lain yang mempunyainya dalam jumah yang sama atau lebih besar dengan kualitas yang sama atau lebih baik, dan berlokasi yang sama atau lebih dekat ke pasar.

Dengan demikian maka keberadaan pasar adalah jauh lebih penting daripada kepemiikan akan sumber daya alam itu sendiri. 

INSPIRASI : Buku “Pembangunan Daerah Mendorong PEMDA Berjiwa Bisnis” Oleh Ir. Sussongko Suhardjo , MSc, MPA, PhD, Jakarta : Panta Rei, 2006.


No comments:

Post a Comment