STEVANI On Social Media

Sunday, April 19, 2020

EKONOMI PADA SKALA MAKRO

EKONOMI PADA SKALA MAKRO

ARTIKEL TERKAIT : EKONOMI PADA SKALA MIKRO
Dalam kenyataannya, di dalam ekonomi nasional dan daerah terdapat banyak sekali “Anda-Anda” lain yang pola pengeluarannya juga seperti pola gambaran berikut :


Di dalam ilmu ekonomi (makro), pola aliran uang seperti tergambarkan di atas dan aliran lain yang tidak tergambarkan di atas, dapat dirumuskan menjadi sebuah persamaan matematis sebagai berikut :
Y = C + I + G + X – M
Di mana :
C = konsumsi, seperti uang yang dibayarkan untuk sekolah anak, untuk cicil mobil, untuk makan
I = investasi, seperti investasi yang dilakukan oleh pengusaha yang mendapatkan dana investasinya dari bank yang uangnya diperoleh dari tabungan
G = belanja pemerintah yang dananya didapat dari pajak
M = pembayaran atas impor barang, seperti dalam hal ini impor komponen kendaraan bermotor, pembayaran atas lisensi waralaba (restoran, supermarket), pembayaran deviden yang merupakan hasil dari penanaman modal asing dalam perusahaan local atau dalam anak perusahaan asing
X = penerimaan dari ekspor, yang dalam kasus si atas tidak ada..
Persamaan di atas jelas memperlihatkan bahwa pendapatan nasional (Y) hanya akan meningkat apabila salah satu atau semua komponen-komponennya meningkat. Dan sebaliknya, pendapatan nasional akan menurun apabila salah satu atau semua komponennya berkurang. Ini dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada suatu Negara yang ekonominya meningkat atau menurun, dan dapat juga dipergunakan untuk meramalkan pada ekonomi suatu Negara apabila salah satu atau semua komponennya diusahakan untuk ditingkatkan atau diturunkan. Persamaan ini juga, secara terbatas, dapat menjelaskan apa yang terjadi ketika Negara kita mengalami krisis ekonomi sejak 1997.
Dengan naiknya kurs dolar Amerika Serikat dan mata uang internasional lainnya, termasuk Yen Jepang, maka barang-barang impormenjadi lebih tinggi harganya dalam rupiah. Padahal sebagian dari yang diimpor oleh ekonomi kita adalah bahan baku  untuk industry kita yang sebagian besar adalah buatan luar negeri. Karena bahan baku yang diimpor oleh ekonomi harganya menjadi lebih tinggi, maka ada beberapa pilihan yang tersedia bagi produsen di Indoensia. Pertama, produsen kita yang memakai bahan baku impor akan harus menaikkan harga jual produknya untuk dapat membiayai bahan baku yang diimpor tersebut. Namun demikian, karena daya beli konsumen tidak meningkat (bahkan kemudian menurun), maka produsen tersebut tidak bisa menaikkan harga jual produknya. Karena harga jual produk tidak bisa dinaikkan, padahal harga bahan baku meningkat, maka produsen hanya dapat melakukan kegiatan produksi dengan merugi1 , atau mengurangi produksi dengan harapan harga akan meningkat karena pemasok berkurang 2, atau menghentikan kegiatan produksi sama sekali. Kedua, produsen kita sebenarnya dapat memakai bahan baku buatan dalam negeri yang karena tidak diimpor maka harganya tidak perlu naik. Namun karena selama ini industry kita didesain untuk menggunakan bahan baku impor, maka tidak ada bahan baku lokal yang tersedia di pasar3. Akibatnya, maka para produsen harus mengurangi atau menghentikan kegiatan produksinya, karena tidak kuat membiayai impor bahan baku. Pengurangan ataupun penghentian kegiatan produksi mengakibatkan perusahaan-perusahaan kita harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pegawainya, sehingga banyak sekali pegawai kita yang menganggur dan tidak mempunyai penghasilan. Akibat dari semakin banyaknya orang yang menganggur, maka penghasilan masyarakat secara keseluruhan menurun sehingga daya beli masyarakat semakin menurun, dan ini mengakibatkan permintaan akan barang juga semakin turun lagi, dan dampak akhirnya adalah semakin berkurangnya kegiatan produksi.

HALAMAN  1  2  3  4

1 Sjahrir dalam bukunya Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total  (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia & Yayasan Padi & Kapas, 1999, halaman 110) menyitir sebuah cerita dari The Asian Wall Street Journal, 16 Oktober 1997, mengenai seorang pedagang makanan di Salemba yang bernama Mamad yang tidak tahu mengenai IMF. Bulan sebelumnya biaya yang dikeluarkan Mamad untuk bahan baku dagangannya seperti beras, minyak goring, dan sayuran, meningkat dengan 30%, namun Mamad tidak dapat menaikkan harga jualannya karena pelanggannya sudah berkurang sebanyak 60%. Tentu ini berarti bahwa Mamad tidak memperoleh untung dari dagangannya itu, atau malah merugi. Bila ini berlangsung terus, Mamad berpendapat bahwa ia akan harus menutup dagangannya.

2 Hukum penawaran-permintaan menyatakan bahwa bila pasokan meningkat sedangkan permintaan tetap, maka harga akan menurun; sebaliknya bila pasokan menurun sedangkan permintaan tetap, maka harga akan naik; bila pasokan tetap sedangkan permintaan meningkat, maka harga akan meningkat.

3 Sampai-sampai pakan ternak-pun, sebagaimana kita ingat, tidak ada di pasar akibat kita tidak bisa mengimpor pakan ternak tersebut. Artinya, produksi pakan ternak di dalam negeri tidak ada, yang kemudian mengakibatkan perternakan-perternakan menutup kegiatannya.

INSPIRASI : Buku “Pembangunan Daerah Mendorong PEMDA Berjiwa Bisnis” Oleh Ir. Sussongko Suhardjo , MSc, MPA, PhD, Jakarta : Panta Rei, 2006.

No comments:

Post a Comment